Kalau sudah menikah, keluar dari rumah orang tuamu!
Begitu kata-kata nasehat yang pernah didengar. Tetapi pada kenyataannya sedikit sulit, kalau belum punya penghasilan yang memadai, karena masih sering disokong oleh orang tua. Apalagi orang tua tinggal sendiri, dan rumah besar. Tentu ada pertimbangan lain.
Ah, kalaulah dulu jalan kehidupan yang diambil berbeda tentu tidak mungkin terjadi seperti sekarang ini.
Perceraian kerap kali terjadi, ketika rumah tangga yang dibina dimasuki oleh orang ketiga, alias orang tua yang sering turut campur dalam masalah rumah tangga suatu pasangan. Rasanya sah-sah saja buat mereka, karena pasangan baru itu tinggal dengan mereka. Berlaku hukum, "Kalau kamu masih tinggal bersama aku, ikuti peraturan yang ada di rumah sini!"
Kadang salah satu, entah suami atau isteri bisa membawa suasana menjadi permusuhan. Biasanya menjelekkan sikap orang tua yang ikut campur. Biasanya pasangan yang sudah tidak betah bisa pergi dari rumah. Tetapi tidak semudah itu memang.
Kalau sudah mapan, boleh tinggal di rumah sendiri. Entah beli atau ngontrak, yang penting dalam satu rumah hanya ada satu rumah tangga.
Kayaknya gampang ... tinggal pindah saja. Kalau uang gaji yang didapat sedikit bagaimana? Daripada membuang uang untuk bayar kontrakan, masih lumayan tinggal di rumah orang tua, dengan catatan itu tadi, bersiap untuk menerima campur tangan para orang tua.
Ketika mengucapkan janji di depan altar, kamu dan aku itu menjadi satu, tidak bisa dipisahkan. Harus satu kompromi. Meskipun kadang ketika ada persoalan, bolehlah meminta saran atau pendapat dari orang tua. Tetapi jangan ditelan mentah-mentah juga.
Saya jadi teringat ucapan moto saya nih,
"Maafkan saya belum pernah menjadi orang tua!"
Rasanya setiap pembelajaran kehidupan dalam membesarkan anak-anak butuh trial and eror. Percobaan dan perbaikan kesalahan. Jadi, rasanya kaliamat yang bilang, "Kok anak jadi bahan coba-coba!" Itu engga berlaku deh! Semua harus dicoba untuk mendapatkan hasil yang pas, iyakan?!
***
Beruntung buat pasangan, yang bisa hidup damai dengan orang tuanya. Apalagi mereka menganggap kalau menantu itu seperti anak sendiri. Yaaa ... asyiik cucu bisa dititipkan seenaknya, hahaha.
Lain cerita dengan saya, semua urusan anak-anak, dipegang oleh saya dan suami, meskipun ada bantuan dari pembantu, kecuali terpaksa ketika saya sakit.
***
Semua sudah berlalu, ketika moment itu teringat, ah sudah tiga puluh dua tahun saya mengarungi rumah tangga, rasanya tak percaya ketika mengingat masa dulu. Kangen sih, apalagi ketika masa muda dan masih kuat.
Ketika umur duapuluhan, berpikir, nanti umur lima puluh saya seperti apa ya? Ketika sudah menginjak lima puluh, ah, kenapa secepat ini umurku bertambah. Begitulah tidak ada yang sempurna.
Anak-anak bertambah besar, dengan pemikiran masing-masing, rasanya harus sudah mulai menata kehidupan berdua lagi. Menata hati ketika saatnya tiba, anak -anak dengan kemandiriannya.
***
Ketika rupamu sudah menua dan rambutmu berubah putih, hanya kekuatan doa saja yang bisa mengatasi segala hal dalam mengarungi dunia.
Love, Audy
0 Comments:
Posting Komentar