Menu

 

Menulis Konten Buat Pemula








 Awalnya dari kepo jadi terjun ke dunia penulisan di platform blog ini.

Ragu-ragu sudah pasti. 

Serasa masuk "rimba antah berantah "berjalan kesana kemari. Tidak mengerti. "Meraba dalam kegelapan". 

Cuma ada tekad dalam hati, ayo berani! 

Mencoba mendaftar, ikutin saja alur yang disarankan. 

Mulai menulis sedikit bingung karena copy paste dari blog pribadi yang sudah ada, tidak bisa di paste semua di kolom yang disediakan. 

Belajar terus ... mengulik aplikasi yang baru. Ternyata ....

Copy paste  bisa sebahagian sisanya harus diketik di kontennya.

Buat pemula seperti aku yang belajar sendiri bingung. Buka informasi di You tube sama saja enggak ada cara menulis konten di aplikasi. 

Kalau lihat konten yang sudah banyak "asam garam" kan ada tulisan selanjutnya  atau read more ke halaman 1, 2 ,3 dst.

Nah ini yang bikin bingung. Eh gimana bisa banyak kolomnya. Berpikir oh ... barangkali nulis di satu kolom terus buka kolom baru. Copy link antar konten misalnya konten kolom 1 di masukkan ke 2 atau sebaliknya.

Kepo tulisan teman yang lain di aplikasi. Hem ... bisa ... bisa. Semangat.

Rasanya banyak tulisan yang ingin dibagi, tinggal di copy paste dan ditulis ulang. 

Ah mau kasih saran buat platform blog ini. Coba dong di upgrade lagi aplikasinya untuk penulisan, supaya bisa  tulisan dari aplikasi penulisan yang lain bisa lebih cantik lagi ..., maksudnya karakter huruf diperbanyak hehehe. 

Terus maju Kompasiana.


Love, Audy 

ceritadiri.com


Cek Tulisannya di Kompasiana

Share:

Kekuatan Jari dan Pikiran Itu Berbeda




Sebab itu dengan yakin kita dapat berkata: "Tuhan adalah Penolongku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?" 


Ceritanya mau ikut anak-anak kekinian. Apa daya kekuatan badan tidak sama dengan pikiran.

Pikiran masih duapuluh tahunan. Badan bla ... bla .... 

Ikut kelas yang lagi heboh, kelas Gokil namanya. Murah sih. Cuma sepuluh ribu. Pesertanya 250 orang. Sesuai kapasitas saja di Whatsapp grup.

Asiknya tuh bisa kenalan denga teman-teman seluruh Indonesia. 

Entahlah belum terlalu diperhatikan apa ada yang umurnya sama. Barangkali senasib hehehe. Ampun! Mata enggak bisa diajak komporomi.

Kayaknya sudahlah. Habis ini kayaknya santai aja. Daripada keleyengan plus yang di sebelah cuap-cuap. Tahu diri saja. 

Sambil tetap mempraktekkan ilmu yang didapat, perlahan-lahan saja. Sepuluh orang minimal atau duapuluh kalau pas waktu dan kekuatan. Yang penting melakukan reply status.

Semoga bisa mengikuti kelas yang lain.


Semangat.



Love, Audy

Share:

Menangani Jerawat Membandel




Ceritadiri.com ~ Duh! Mau Zoom! Gimana ini, ada jerawat di hidung.

Share:

Daripada Diam Bergerak Aja






Menjual nama ibu sendiri itu boleh boleh aja. Dalam artian positip yaa.

Dekat rumahkan ada Koperasi, nah dekat koperasi ada toko yang menjual barang-barang kebutuhan pokok dan lainnya.

Toko ini diurus sama Koperasi. Jadi Barang kebutuhan di suplai oleh anggota koperasi. 

Dulu sih udah pernah jadi anggota, karena pindah daerah jadi ditutup. Kasihan kalau nyuruh ibunda bolak balik ngurusin tabungan koperasi. Padahal asik juga nabung, enggak perlu uang besar di sini.  Karena Koperasi kan nabungnya ada minimal tiap bulannya.Tapi ya sudah. Sudah lewat masa itu.

Sekarang ceritanya lagi mau coba usaha offline. Masarin buku hasil cerita sendiri. Walaupun dalam bentuk Antologi, tetap harus ada andilnya dalam memasarkan buku. 

Eh, kalau dirimu gimana?

Sebelum masuk "rumah orang" biasanya menyapa dulu yaa. Begitulah kira-kira yang diriku lakukan.

Bertanya apa bisa, bla ... bla ....

"Wah, ibu anggota Koperasi bukan?"

Sudah pasti jawabnya "tidak!" Ada rasa pesimis akhirnya menggelitik di hati. Yah gagal!

"Sebetulnya dulu anggota sih!" Tapi karena pindah jadi ditutup.

"Memang ibu tinggal di mana?"

"Di Ligar Cantik."

"Wah dekat sama ibu Joris ya?"

"Saya anaknya!"

"Ibunda anggota koperasi tuh!" ujar ibu penjaga toko. 

Wah kesempatan seperti terbuka. Suasana yang tadinya sedikit kaku menjadi lebih luwes. 

"Oh kalau begitu nanti ketemu bapak anu!" Nama bapaknya dirahasiakan yaa. Barangkali nanti beliau baca cerita ini, tidak ada masalah di belakang. Lol.

Akhirnya, titip nomer Whatsapp saja di sebuah kertas. Karena beliau sedang ada tamu belum bisa di ganggu Barangkali nanti bisa bertemu dengan bapak "anu".

Untung rumah tidak begitu jauh dari tempat koperasi. Jadi bolak balik ke tempat ini enggak masalah.

Semoga saja berhasil.


Love, Audy

Share:

Wow Fresh ... fresh







Kaget melihat warna-warni cantik dari kejauhan. 
Rasanya baru beberapa bulan pergi meninggalkan kota ini. Sekarang ada tempat yang lucu begini. 
Share:

Hunian Milenial versus Hunian Baby Boomer.




Hunian Vertikal


 

Hunian Milenial versus Hunian Baby Boomer

Sebetulnya enggak tertarik dengan hunian vertikal. Apa karena masanya sudah lewat, jadi mobilitas kegiatan lebih banyak di luar rumah.

Lebih ke arah membugarkan diri.

Jadi kalau tinggal di tempat yang terlalu tinggi, rasanya lebih rumit. Walaupun ada barangkali ada tersedia tempat kebugaran.

Pernah sih, mencoba numpang tidur di apartemen adik dan keluarga besan ibunda. Kalau untuk seminggu masih oklah. Dengan fasilitas yang disediakan masih bisa menarik hati untuk tetap bertahan. Untuk anak-anak sih senang saja. Karena bisa berenang dengan suka-suka. Apalagi kalau huniannya yang mahal. Luas banget deh. Ada Dapur, ruang tamu, kamar mandi, tiga kamar tidur.

Semua fasilitas sudah tersedia. Mau masuk ke kamar juga. Ada penjaga khusus. Dan setiap penghuni harus memakai kartu kamar. Jadi tidak sembarang orang bisa naik ke kamar-kamar. 

Rasanya sih dunia hanya milik kita. Enggak ada sapa dari tetangga kiri, kanan. Sepi ... sunyi. 

Membuang sampah juga di tempat khusus. Jadi ada waktu tertentu yang akan di ambil di tempat tersebut.

Menurut suami yang seorang arsitek,  hunian vertikal memang ditujukan untuk para milenial yang gaya hidupnya lebih simpel. Enggak suka ribet. Apalagi Hunian dibangun di lahan yang terbatas karena mahalnya lahan. Apalagi terletak di pusat kota yang mempunyai banyak lapangan kerja. Para karyawan memerlukan tempat tinggal yang lebih dekat dengan tempat kerja.


Sumber Ir.Tommy Nataprawira diolah Audy Jo dengan Canva


Harga yang didapat dari sebuah hunian vertikal di tengah kota masih lebih murah daripada rumah yang ada di pinggiran kota. Waktu yang ditempuh menuju ke tempat kerja lebih cepat. 


Sumber Ir.Tommy Nataprawira


Walaupun pada kenyataannya. Punya hunian seperti ini ada biaya yang harus dikeluarkan juga. Seperti  biaya bulanan untuk maintenance hunian, biasanya sudah termasuk air, listrik, sampah, keamanan.

Masalahnya yang sering terjadi antar tetangga biasanya kalau ada keributan biasanya  terdengar jelas. Apalagi kalau ada kebocoran pipa air. Jadi, dituntut rasa solidaritas yang tinggi untuk bisa menerima perbedaan yang ada untuk mendapatkan kenyamanan bertetangga di hunian vertikal ini.

Jadi ... kalau dibilang tertarik yaa ... tiga puluh persenlah. Masih belum terlalu yakin dengan banyaknya hunian vertikal yang menjamur. Masih tetap lebih percaya dengan rumah kecil mungil. Yang kalau tiba-tiba ada gempa bisa berlari keluar menyelamatkan diri. Daripada berlari menuruni tangga dari tingkat lima belas.

Menghayalkan kejadian yang luar biasa. Kalau tiba-tiba suami dipanggil kerja di tempat lain bagaimana ya? Berpisah dengan keluarga. Mau tidak mau mencari tempat tinggal untuk diri sendiri. Pilihan hanya dua, tempat kost yang murah di pinggiran kota atau hunian vertikal dekat tempat kerja. Ah, jadi dilema deh.

Semangat milineal.


Love, Audy



Share:

AJPena Online Class

Buletin My World

Klik Ikuti - Untuk Cerita Terbaru

Ebook Audy Jo







Klik Gambar Buku untuk Beli
Pembayaran via : CC, Alfamart, GoPay, OVO

Advertisement