Sebab itu dengan yakin kita dapat berkata: "Tuhan adalah Penolongku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?"
Ceritanya mau ikut anak-anak kekinian. Apa daya kekuatan badan tidak sama dengan pikiran.
Pikiran masih duapuluh tahunan. Badan bla ... bla ....
Ikut kelas yang lagi heboh, kelas Gokil namanya. Murah sih. Cuma sepuluh ribu. Pesertanya 250 orang. Sesuai kapasitas saja di Whatsapp grup.
Asiknya tuh bisa kenalan denga teman-teman seluruh Indonesia.
Entahlah belum terlalu diperhatikan apa ada yang umurnya sama. Barangkali senasib hehehe. Ampun! Mata enggak bisa diajak komporomi.
Kayaknya sudahlah. Habis ini kayaknya santai aja. Daripada keleyengan plus yang di sebelah cuap-cuap. Tahu diri saja.
Sambil tetap mempraktekkan ilmu yang didapat, perlahan-lahan saja. Sepuluh orang minimal atau duapuluh kalau pas waktu dan kekuatan. Yang penting melakukan reply status.
Menjual nama ibu sendiri itu boleh boleh aja. Dalam artian positip yaa.
Dekat rumahkan ada Koperasi, nah dekat koperasi ada toko yang menjual barang-barang kebutuhan pokok dan lainnya.
Toko ini diurus sama Koperasi. Jadi Barang kebutuhan di suplai oleh anggota koperasi.
Dulu sih udah pernah jadi anggota, karena pindah daerah jadi ditutup. Kasihan kalau nyuruh ibunda bolak balik ngurusin tabungan koperasi. Padahal asik juga nabung, enggak perlu uang besar di sini. Karena Koperasi kan nabungnya ada minimal tiap bulannya.Tapi ya sudah. Sudah lewat masa itu.
Sekarang ceritanya lagi mau coba usaha offline. Masarin buku hasil cerita sendiri. Walaupun dalam bentuk Antologi, tetap harus ada andilnya dalam memasarkan buku.
Eh, kalau dirimu gimana?
Sebelum masuk "rumah orang" biasanya menyapa dulu yaa. Begitulah kira-kira yang diriku lakukan.
Bertanya apa bisa, bla ... bla ....
"Wah, ibu anggota Koperasi bukan?"
Sudah pasti jawabnya "tidak!" Ada rasa pesimis akhirnya menggelitik di hati. Yah gagal!
"Sebetulnya dulu anggota sih!" Tapi karena pindah jadi ditutup.
"Memang ibu tinggal di mana?"
"Di Ligar Cantik."
"Wah dekat sama ibu Joris ya?"
"Saya anaknya!"
"Ibunda anggota koperasi tuh!" ujar ibu penjaga toko.
Wah kesempatan seperti terbuka. Suasana yang tadinya sedikit kaku menjadi lebih luwes.
"Oh kalau begitu nanti ketemu bapak anu!" Nama bapaknya dirahasiakan yaa. Barangkali nanti beliau baca cerita ini, tidak ada masalah di belakang. Lol.
Akhirnya, titip nomer Whatsapp saja di sebuah kertas. Karena beliau sedang ada tamu belum bisa di ganggu Barangkali nanti bisa bertemu dengan bapak "anu".
Untung rumah tidak begitu jauh dari tempat koperasi. Jadi bolak balik ke tempat ini enggak masalah.
Sebetulnya enggak tertarik dengan hunian vertikal. Apa karena masanya sudah lewat, jadi mobilitas kegiatan lebih banyak di luar rumah.
Lebih ke arah membugarkan diri.
Jadi kalau tinggal di tempat yang terlalu tinggi, rasanya lebih rumit. Walaupun ada barangkali ada tersedia tempat kebugaran.
Pernah sih, mencoba numpang tidur di apartemen adik dan keluarga besan ibunda. Kalau untuk seminggu masih oklah. Dengan fasilitas yang disediakan masih bisa menarik hati untuk tetap bertahan. Untuk anak-anak sih senang saja. Karena bisa berenang dengan suka-suka. Apalagi kalau huniannya yang mahal. Luas banget deh. Ada Dapur, ruang tamu, kamar mandi, tiga kamar tidur.
Semua fasilitas sudah tersedia. Mau masuk ke kamar juga. Ada penjaga khusus. Dan setiap penghuni harus memakai kartu kamar. Jadi tidak sembarang orang bisa naik ke kamar-kamar.
Rasanya sih dunia hanya milik kita. Enggak ada sapa dari tetangga kiri, kanan. Sepi ... sunyi.
Membuang sampah juga di tempat khusus. Jadi ada waktu tertentu yang akan di ambil di tempat tersebut.
Menurut suami yang seorang arsitek, hunian vertikal memang ditujukan untuk para milenial yang gaya hidupnya lebih simpel. Enggak suka ribet. Apalagi Hunian dibangun di lahan yang terbatas karena mahalnya lahan. Apalagi terletak di pusat kota yang mempunyai banyak lapangan kerja. Para karyawan memerlukan tempat tinggal yang lebih dekat dengan tempat kerja.
Sumber Ir.Tommy Nataprawira diolah Audy Jo dengan Canva
Harga yang didapat dari sebuah hunian vertikal di tengah kota masih lebih murah daripada rumah yang ada di pinggiran kota. Waktu yang ditempuh menuju ke tempat kerja lebih cepat.
Sumber Ir.Tommy Nataprawira
Walaupun pada kenyataannya. Punya hunian seperti ini ada biaya yang harus dikeluarkan juga. Seperti biaya bulanan untuk maintenance hunian, biasanya sudah termasuk air, listrik, sampah, keamanan.
Masalahnya yang sering terjadi antar tetangga biasanya kalau ada keributan biasanya terdengar jelas. Apalagi kalau ada kebocoran pipa air. Jadi, dituntut rasa solidaritas yang tinggi untuk bisa menerima perbedaan yang ada untuk mendapatkan kenyamanan bertetangga di hunian vertikal ini.
Jadi ... kalau dibilang tertarik yaa ... tiga puluh persenlah. Masih belum terlalu yakin dengan banyaknya hunian vertikal yang menjamur. Masih tetap lebih percaya dengan rumah kecil mungil. Yang kalau tiba-tiba ada gempa bisa berlari keluar menyelamatkan diri. Daripada berlari menuruni tangga dari tingkat lima belas.
Menghayalkan kejadian yang luar biasa. Kalau tiba-tiba suami dipanggil kerja di tempat lain bagaimana ya? Berpisah dengan keluarga. Mau tidak mau mencari tempat tinggal untuk diri sendiri. Pilihan hanya dua, tempat kost yang murah di pinggiran kota atau hunian vertikal dekat tempat kerja. Ah, jadi dilema deh.
Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.
Tertawa tidak berhenti-henti. Lucu melihat mamanya bergaya bak artis.
Dapat tugas membuat video perkenalan memakai bahasa inggris dari kelas inggris.
Enggak pernah membuat video secara live untuk masuk medsos.
Ah tahu dirilah. Siapa diri ini.
Kalau dilihat langsung sih kata hubby aku cantik. Tapi tetap aja enggak merasa fotogenik. Tapi aku tetap menyatakan diriku cantik. Self healing.
Jadi yang namanya live di medsos no ... no .... Eh, malah sekarang harus buat PR live dan pakai bahasa inggris. Edun.
Umur sudah tidak muda lagi, sudah pasti kelihatan garis-garis kerutan. Rasanya sedikit menyesal. Kenapa enggak dari dulu? Tuh, yang muda jangan sampai menyesal kayak aku ya!
Sebetulnya malas mau buatnya. Kondisi badan rasanya lagi enggak enak sehabis di vaksin. Bawaannya mau tidur saja. Sambil membaca tugas pakai sarungan di tempat tidur. "Ihh, pada ngebayangin yaa!"
Buat rencana sehabis makan siang saja. Lumayan ada tenaga.
Mandi pagi menjelang siang. Paling asyik mandi jam segini, karena airnya hangat jadi enggak pakai pemanas air. Keramas, keringkan dengan cantik.
Ampun! Lagi menikmati sup kacang merah dengan ayam. Tiba-tiba gigi patah. OMG! Masih untung gigi atas bagian samping. Jadi kalau tersenyum masih enggak kelihatan banget. Duh! Udah kebayang uang yang dikeluarkan. Tahu sendirikan biaya kalau ke dokter gigi? huhuhu!
Penghuni rumah tertawa keras melihat penampilan diri yang konyol ini. Sudah oma-oma!
Siapa takutlah buat Video!
Coba sajalah!
Beberapa kali mengambil gambar salah terus. Tertawa terus. Repotnya. "Ya, sudahlah mama saja yang buat sendiri!"
Beberapa kali ambil tanpa pakai kaca mata seperti meraba-raba. Memakai kaca mata lumayanlah. Kalau mau dibandingkan cara melihat diri sendiri susah juga. Angle yang kita bilang jelek belum tentu kata orang lain.
Yah sudahlah! Hehehe banyak menjawab pasrah ke diri sendiri.
Setelah dirasa cukup. Mulailah mengedit video. Lumayan melelahkan. Hubby sudah mulai mengeluarkan "taringnya".
"Kapan berhenti? Istirahat! Tidur! Baru di vaksin jangan capai! Serem deh kalau hubby sudah begini. Tapi hubby sayangku asal jawabnya yang benar. "Lima menit lagi ya, Pa?"