Menu

 

Bukan Nomer Saya

 





Audy Jo

Tiba-tiba dapat kiriman gambar. Di dalam gambar itu ada pembicaraan mengajak kerjasama jualan produk. Saya jawab saja ke pengirim gambar, "Saya belum ada minat untuk berbisnis," begitu jawab saya tanpa mengklik gambar tersebut.

Persoalan selesai!

Ternyata adik saya kirim lagi gambar. Gambar jelas dengan wajah saya dan nama tetapi ada nomer gawai yang tertera bukan punya saya! Haduh, ada masalah apa lagi?!

Ada teman yang lain juga sama mengirimkan hal serupa.


Saya baru tersadar, rupanya teman tadi mengirimkan gambar penipuan yang diasumsikan dengan gambar saya. Dan saya minta kirim ulang percakapan tadi. Walaupun akhirnya dikirim tetapi bukan gambar awal yang tadi keburu dihapus.




Akhirnya saya pun buru-buru membuat statement di setiap medsos yang saya punya. 



Nomer bukan punya saya. Tetapi wajah dan nama memang punya saya. 

Saya perhatikan gambar potrait diri itu berasal dari facebook.

Sedikit jengkel untuk kejadian ini, karena bisa merusak citra seseorang. Yang tadinya saya sudah nyaman dengan keadaan saya, sekarang malah jadi was-was memakai kedia sosial.

Media sosial sedang dikejar and monetisasinya. Biar apa yang saya buat ada penghargaan berupa uang pemasukan buat saya dan keluarga. 

Untuk hal ini ada beberapa kriteria yang harus saya ikuti. Sebisa mungkin media sosial saya itu bersih, rapih dan sopan sehingga bisa menjadi perhatian bahwa saya layak. Dan lagian banyak follower yang hisa mampir mengikuti konten-konten saya. 

Sampai detik ini saya masih menduga-duga, bagaimana para penipu ini dapat nomer gawai teman lainnya. Rasanya ada yang tidak nyambung ke saya tetapi bisa dikirim.

Mulai deh rentetan kata keluar dari mulut suami karena persoalan ini. Waspada, hati-hati. Semua album harus di seting pribadi. Dalam beberapa menit, saya mulai berselancar di setiap medsos yang saya punya. Memang tidak banyak yang memakai wajah asli, kebanyakan memakai karikatur atau gambar lainnya.

Cukup melelahkan buat saya ketika harus membuka semua media sosial. 

Enggak habis pikir bagaimana sih orang lain dengan seenaknya merugikan orang lain? Apa tidak ada ide, dari diri sendiri untuk menawarkan produknya? 

Kalau sudah begini sebagai manusi normal ada dong sedikit rasa kesal. Tetapi saya bisa berpikir normal untuk tidak larut dengan keadaan yang tidak menyenangkan ini. "Life must Go On!"

Doa saya supaya yang membuat dan membuat susah orang lain cepat sadar dan minta ampun untuk perbuatannya yang bodoh.

Semoga tidak ada teman-teman yang kecewa yaaa!

Love, Audy






Share:

Bully

 





Audy Jo


Anak gulali ... anak gulali! Teriakan itu membuat Widi merasa malu. Setiap hari setelah mereka jajan gulali dari penjual gulali yang berada di depan sekolahnya, pasti mereka menatap wajahnya sambil menjilat permen dan tertawa di depan Widi. Sebal!

Widi merasa malu karena penjual yang berada di depan sekolahnya adalah bapaknya. Iya, bapak Widi penjual gulali. Rasanya ingin melarang bapak berjualan di depan sekolahnya, tetapi dagangan yang dijual memang buat anak-anak sepantaran Widi.

Dengan menahan malu dan kesal, Widi berbicara dengan ibunya, minta agar bapak jualan ditempat lain. Tetapi apa yang dikatakan ibunya Widi merasa malu. "Bapak kan tidak mencuri, Nak, tetapi dia mencari uang dengan halal untuk menghidupi kita berempat. Nurut kata ibu ya, Nak! Kalaupun ada yang mengejek mu, Cuex saja!" Akhirnya Widi mengikuti saran ibunya. Sampai dia lulus SMA ejekan itu tetap ada semua biaya sekolah hasil dari jualan gulali bapaknya.

Widi ingin melanjutkan kuliahnya, dan meminta ijin kepada kedua orang tuanya. Mereka memperbolehkan, tetapi dengan syarat, biaya Widi yang cari. Mulailah dia bekerja untuk membiayai kuliahnya. Widi baru merasakan betapa susahnya mencari uang untuk dirinya sendiri, betapa dia merasa bersyukur karena bapaknya telah membiayai mereka sekeluarga. Sungguh besar pengorbanan Bapaknya.

***

Karena perbedaan tidak membuat saya menjauhi teman-teman yang berbeda latar belakangnya. Mulai dari yang ayahnya penjual sepatu, ibunya single mother bekerja sebagai administrasi, orang tuanya guru, ada juga yang di belakang rumahnya berjualan singkong goreng. Duh membicarakan singkong membuat air liur saya menetes. Dengan sambal goreng yang disediakan panas-panas. Ah kangen masa itu!

Loh kok jadi membicarakan singkong goreng?! Hehehe.

Sewaktu saya pindah ke daerah terpencil, yang ada di pulau kecil ujung Kalimantan Utara (Dulu Timur). Saya tidak pernah membayangkan apa yang akan terjadi di sana.

Mulai dengan rumah dinas baru, yang besar. Dengan halaman yang luas banget. Antara tetangga samping bisa dibuat lapangan volly. Antar tetangga di belakang rumah bisa dibuat lapangan bola. Di depan rumah ada hutan yang masih belum semua dijamah, kadang keluar babi hutan, atau monyet yang ramai berteriakan. Iih ... apalagi ular yang masih berkeliaran. Saya tidak pernah membayangkan ular itu bisa ada di atas atap rumah. Sampai sekarang saya belum tahu, bagaimana ular itu bisa datang.

Dengan berbagai penampilan yang masih terbayang di benak, saya pun bisa berkenalan dengan teman baru, dengan karakter yang berbeda. 

Sebetulnya ada rasa malu ketika datang ke sekolah, karena mereka suka memanggil saya 'Anak Gabar Singh'. Julukan ini saya dapati ketika ada film India yang diputar di gedung pertemuan masyarakat. 

Karena tinggal di pulau kecil, semua orang pasti kenal satu dengan yang lain. Daerah ini hanya dibagi menurut desa saja, ada Nibung, Handasa dan lainnya. Saya lupa! Nah Ketika ada film yang datang, semua orang berbondong untuk nonton di gedung yang lumayan besar.

Film yang diputar, pemeran penjahat lelaki wajahnya mirip dengan ayah saya. Seorang penjahat yang mengerikan dengan wajah yang berewokan bernama Gabar Sing. Cerita yang ditampilkan pemerean itu menjadi musuh para jagoannya, karena dia suka mengganggu ketentraman penduduk. Dengan jambangnya yang seram memang sekilas mirip dengan ayah saya yang orang Ambon. Apalagi ketika beliau memanjangkan jambangnya ... wah mirip! Sejak itulah teman-teman di sekolah mulai memanggila saya Gabar Singh. Kalau saya lagi tidak senang, saya balik mengancam, "Awas saya kasih tahu Gabar Singh yaa! Biar besok datang ke sekolah!" Ancaman itu begitu saja keluar dari mulut saya. Begitulah baru mereka terdiam, takut kalau ancaman saya itu benar-benar terjadi.

Beruntunglah setelah saya lulus kelas enam SD, kami semua pindah ke Jakarta. Tentulah dengan cerita lain lagi. Dengan serial 'Anak Hutan Masuk Kota'.

Berjalannya waktu, saya bersyukur untuk kesempatan yang diberikan Tuhan untuk menikmati kehidupan yang berbeda-beda, karena tempat tinggal yang selalu berbeda. Semua karena kerja keras ayah saya, sehingga saya menjadi seperti sekarang ini. Tiada kata menyesal ketika kami harus berpindah-pindah tempat. Karena pengalaman itu tidak datang dua kali dalam hidup kami sekeluarga.


Love, Audy

Ref: Antologi Memoar

Share:

Perempuan yang Kuat

 




Audy Jo

Setiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini, hari bersejarah khususnya untuk para perempuan. Menghilangkan kesenjangan antara para pria dan wanita. Rasanya saya lebih suka memakai kata perempuan saja ya .... Entah kok rasanya lebih enak didengar. Kata wanita kok spertinya seperti orang terlalu tinggi buat saya.

Walaupun Kartini sudah lama meninggal dan meninggalkan warisan untuk para perempuan, tetapi masih saja ada para perempuan yang belum merasakan perjuangan beliau.

Nindi begitu gembira ketika hari yang ditunggu-tunggu telah tiba di depan mata. Beberapa hari lagi dia akan melangsungkan pernikahannya dengan Beni. Setelah lama berpacaran akhirnya, melangkah menuju pelaminan.

Tidak membayangkan ketika sehari sebelumnya, kabar buruk datang dalam kehidupannya. Beni yang telah lama bekerja, tiba-tiba dapat surat pemberhentian kerja. Rasanya terpukul! Tetapi kehidupan harus terus berjalan.

Peristiwa ini hanya keluarga Beni saja yang tahu, keluarga Nindi tidak ada yang tahu. Mereka sibuk mempersipakan hari besar anak mereka. Dan Nindi pun tidak mau menyusahkan keluarganya.

Pesta pernikahan berlangsung dengan semarak, tanpa ada sesuatu yang terjadi. Setelah pesta barulah kehidupan pernikahan yang sebennarnya terjadi.

Masa-masa bulan madu pun berlalu, kembali lah mereka ke realita. Beni sudah berusaha mencari pekerjaan tetapi belum ada yang mau menerimanya. Satu tahun, dua tahun, belum ada panggilan yang Beni terima. Nindi sebagai isterinya merasa sedih, walaupun semua pemasukan keluarga masih bisa dia handel tetapi dia merasa kalau Beni sebagai kepala keluarga tetap harus memberikan pemasukan.

Ada kekecewaan ketika melihat Beni yang hanya bisa duduk di atas sajadah saja. Rasanya Nindi cemburu dengan yang sering Beni ajak bicara di atas sajadah.

Ada rasa kesepian yang melanda Nindi, sehingga pikiran jelek pun sering datang di benaknya. Apakah akau perlu seorang yang lain yang bisa menghargai diriku?

***

Nindi tidak bisa menghargai apa yang sudah didapatkannya. Biarpun suaminya tidak ada pekerjaan ... yang meskipun nantinya dia dapatkan, dia harus bisa mengurus keluarganya dengan baik. Bukan hanya lelaki yang bisa menjadi kepala keluarga, dalam hal ini memberikan pemasukan, tetapi sebagai perempuan yang bisa memberikan pemasukan, dia juga bisa menjadi penolong dalam keluarganya.

Baca juga : Insecure Dalam Diri

Rasanya cerita ini bisa sebagai salah satu contoh apa yang Kartini kejar, kesetaraan. Dalam kehidupan rumah tangga sebisa mungkin ada kerjasama antara pria dan perempuan dalam mengarungi biduk rumah tangga. Benar kan? Saya sambil merenung apa yang saya tulis ini, presepsinya sama dengan yang lain?

Sekuatnya seorang perempuan, kadang memerlukan tangan kuat lainnya seorang laki-laki. Walaupun minta kesetaraan dalam hal lain, tetapi untuk raga, tetap seorang lelaki lebih kuat dari perempuan. Dalam kiata lain, sebetulnya seorang perempuan itu sebagai penolong. Setahu saya sebagai penolong, mustinya lebih kuat dari seorang laki-laki. Bukan dalam hal raga yaa. Ada beberapa yang bisa kita lihat, misalnya dalam pencapaian kinerja di kantor, seorang perempuan bisa mengalahkan kinerja lelaki.

Baca juga : Disiplinkan Diri Hai Kartini

Memasuki abad ke 20, masih ada saja yang belum mengerti perjuangan ibu Kartini, apalagi di daerah pelosok yang kurang terjamah oleh media sosial. Semua masih mengikuti tradisi yang ada, kalau perempuan itu hanya bisa mengurus rumah tangga saja. 

Semoga dengan kemajuan zaman, semua perempuan akan menjadi lebih baik lagi dalam bertanggung jawab untuk dirinya masing-masing.


Love, Audy



Share:

Kerbau Dicucuk Hidungnya

 




Audy Jo


Saya pikir hidup saya yang paling menyedihkan ... ternyata ada teman saya, sebut saja Diah yang lebih menderita dari saya.

Share:

AJPena Online Class

Cerita Lain di Blog

Buletin My World

Klik Ikuti - Untuk Cerita Terbaru

Ebook Audy Jo







Klik Gambar Buku untuk Beli
Pembayaran via : CC, Alfamart, GoPay, OVO

Advertisement